Minggu, 20 Mei 2018

Suku Yang Tersakiti

pagoda Bangunan Simalungun di tengah taman kota Pematangsiantar

        Kota pematangsiantar merupakan kota yang terkenal dengan sebutan kota paling toleransi di Indonesia, penilaian itu tidaklah keliru, karena di kota sapangambei manoktok hitei ini, banyak suku dan agama bisa hidup saling berdampingan, dan tidak pernah ada ditemukan gesekan gesekan yang berarti antara yang berbeda suku dan agama karena toleransilah yang di kedepankan di kota berhawa sejuk ini. Baru-baru ini, kota pematangsiantar di nobatkan menjadi kota paling toleransi di Indonesia, kota pematangsiantar bisa menjadi kota paling toleransi,  sudah memiliki sejarah yang panjang, karena dimulai oleh raja-raja siantar sampai raja terakhir yaitu raja Sangnawaluh Damanik yang memiliki jiwa pengayom buat pendatang di tanahnya yaitu tanah simalungun harajaon Sianttar yang sekarang menjadi kota pematangsiantar. Bertambah tahun, sebelum kemerdekaan tiba, Belanda sempat menduduki kota pematangsiantar dengan menangkap dan membuang Raja Sang Nawaluh ke Bengkalis, dengan dikuasainya kota pematangsiantar, maka kekayaan, tanah, sumber daya alam sepenuhnya di kuasai oleh Belanda, untuk bisa mengelola sumber daya alam, Belanda membawa banyak para pekerja dari daerah tetangga, Orang Jawa dan orang-orang Cina ke kota pematangsiantar. Saat kemerdekaan tiba, pendatang –pendatang dengan berlatar belakang suku yang berbeda semakin banyak yang datang dan tinggal di kota ini, bukan saja suku Jawa, Toba, CIna, tetapi suku-suku Melayu, Minang, Tapsel, India dan banyak lagi berdatangan ke kota ini. Namun walaupun  keberadaan pendatang ini terus bertambah dan semakin beragam, mereka selalu di terima oleh keturunan raja dan masyarakat suku asli kota pematangsiantar itu, tetapi dengan syarat harus menghargai suku asli kota itu. Menghargai suku dan budaya Setempat seperti pepatah lama yang mengatakan “DIMANA KAKI DIPIJAK DI SITU LANGIT DIJUNJUNG” yang artinya walaupun daerah kota pematangsiantar itu, dihuni oleh berbagai macam suku tetapi tetap harus menghargai suku asli kota itu. Suku dan budaya asli kota pematangsiantar adalah suku dan budaya simalungun yang merupakan juga suku dan budaya Raja Siantar yaitu Raja Sang Nawaluh Damanik  dan sekaligus suku sipukkah huta(suku pembukan kampung) Kota Pematangsiantar. Memang petah DIMANA KAKI DIPIJAK DI SITU LANGIT DIJUNJUNG harus kita terapkan jika kita memasuki daerah orang lain, kita harus menghargai kebudayaan, kebiasaan, adat istiadat setempat agar kita bisa diterima di daerah itu, itulah yang disebut PENGHARGAAN/ MENGHARGAI.


         Prinsip menghargai kearifan lokal yang didengung-dengunkan oleh pemerintah pusat tidaklah hal sepele, karena menghargai kearifan lokal lah yang paling ampuh bisa mempersatukan bangsa yang berbeda-beda suku ini, bukan mencampur adukkan tanpa ada satu patron yang bisa berakibat terpecah belahnya suatu bangsa. Prinsip kearifan lokal yang dimaksud adalah pemerintah setempat harus mengunggulkan, atau mengutamakan dan melestarika keberadaan suku adat istiadat daerah itu. Ini sudah diataur dalam undang-undang nomor 40 tahun 2008tentang penghapusan ras dan etnik dan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentangpemerintahan daerah berkewajiban untuk melestarikan suku budaya adat setempat,  Contoh, walaupun kota Jakarta adalah ibu kota Indonesia yang memiliki Jumlah penduduk terbesar di Indoensia dengan berbagai suku-suku yang ada di Indonesia, Diperkirakan ada di Kota Jakarta, tetapi Pemerintah DKI Jakarta Tetap harus mengedepankan Suku Betawi di setiap Identitas kota Jakarta, baik setiap Pagelaran-Pagelaran Budaya, Ornamen-Ornamen Kantor Pemerintahan,BUMN,Swasta,Sekolah, Pakaian-Pakain Dinas, pelajaran-pelajaran muatan lokal khusus budaya Betawi. Itulah yang disebut menghargai kearifan lokal. Begitulah cara Pemerintah untuk melestarikan budaya budaya nusantara. Sehingga masing-masing pemerintah daerah bisa mempertahankan budaya asli daerahnya.
Demikian juga di kota Pematangsiantar, seharusnya Pemerintah Kota Pematangsiantar harus melestarikan, menghargai dan mengedepankan suku, adat istiadat, budaya Simalungun, agar keberadaan suku Simalungun tidak Hilang. Seberapa besarpun jumlah pendatang atau suku apapun yang menjadi /memimpin (walikota) daerah di kota itu,  harus menghargai, melestarikan keberadaan suku, adat istiadat, budaya Simalungun. Karena itu PERINTAH UNDANG-UNDANG.

        Akhir-akhir ini, dengan bertambahnya usia kota pematangsiantar. Dengan silih bergantinya pemimpin kota itu sepertinya Pepatah DIMANA KAKI DIPIJAK DI SITU LANGIT DIJUNJUNG, dan AMANAH/PERINTAH UNDANG-UNDANG NEGERA tidak di hiraukan lagi, bahkan sampai-sampai  Pemerintah Kota Pematangsiantar sudah mulai tidak menghargai keberadaan Suku dan Budaya Simalungun di Kotanya sendiri. Memang, penghargaan yang kurang dihargai ini, sudah dirasakan beberapa sebelum kepemimpinan kepala daerah sekarang ini, yang ketepatan memang kepala daerahnya beberapa kali tidak merupakan suku SImalungun. bisa diperkirakan karena tidak mengerti, tak mau belajar, atau tak mau tahu tentang suku dan budaya di kota Pematangsiantar. Sehingga sering sekali kebijakan-kebijakan yang diambil, menciderai perasaan keberadaan (identitas) orang-orang simalungun di kotanya sendiri. Dimulai merubah nama-nama jalan yang sebelumnya masih bernuansa Simalungun, pembuatan nama daerah-daerah dikota pematangsiantar, tidak mencantumkan oranmen-ornamen di kantor Pemerintahan, sekolah, kantor BUMD,Swasta yang walaupun PERDA (Peraturan Daerah)nya sudah diatur, Perjuangan Hampir 10 Tahun Permohonan Orang-orang Simalungun termasuk Keluarga Keturunan Raja Sang Nawaluh Damanik Untuk dibangunnya Tugu Raja Sang Nawaluh Damanik sebagai bentuk Penghargaan Bagi Sang Raja yang melahirkan Kota Pematangsiantar itu, Namun Sampai Sekarang Belum di laksanakan dengan berbagai alasan. tidak diberdayaakannya atau memberi peluang untuk orang-orang simalungun untuk menduduki jabatan-jabatan baik di pemerintahan atau pun BUMD yang walaupun sebenarnya banyak yang cakap dan sanggup.
kunjungan Presiden Joko Widodo Ke kota Pematangsiantar

Kunjungan Presiden Ke Kabupaten Toba Samosir
Hal yang memuncak yang membuat orang-orang Simalungun yang tinggal di Kota pematangsiantar ini Marah adalah saat hadirnya Walikota Baru yang menggantikan Walikota yang meninggal dunia, Bernama HEFRIANSYAH yang kemungkinan tidak mengerti atau mungkin juga sengaja ingin menghapuskan keberadaan Suku Simalungun di kota pematangsiantar. Terlihat dibeberapa acara kenegaraan tidak menpertunjukan budaya adat Simalungun. Kedatangan KepalaNegara Republik Indonesai bapak JOKO WIDODO ke Kota PematangSiantar baru-baru ini, tidak ditunjukan sama sekali budaya adat Simalungun dalam penyambutan tamu yang sangat dihormati itu. Seogianya setiap kunjungan Presiden kesuatu Daerah, Daerah itu akan menyambut dengan budaya adat setempat serta menyematkan Sesuatu kepada tamu kehormatan itu. Karena proses penyambutan tamu kehormatan dengan adat istiadat budaya setempat itu menjadikan kebanggaan tersendiri bagi suku itu  yang sekali gus jika tidak dilaksanakan merupakan PENGHINAAN dan seakan akan sengaja menghilangkan adat istiadat setempat yang sama artinya Menista Suku daerah itu.

Penyambutan Walikota Pemsiantar dengan budaya Melayu
Sebelumnya Pemerintah Kota Pematangsiantar Juga dianggap melakukan PELECEHAN, PENHINAAN terhadap Suku Simalungun Dimana saat acara 
pembukaan MTQ di Kecamatan Siantar Simarimbun pada 22 Maret 2018 di Masjid Al Hilal Marihat, Walikota Siantar, Hefriansyah disambut dengan tarian suku Melayu”(kutipan http://news.metro24jam.com/read/2018/04/04/55442/pemko-siantar-hina-lecehkan-etnis-simalungun.) yang seharusnya dan biasanya di sambut dengan Adat Istiadat Suku SImalungun dengan Tortor Sombah dan DIHAR PANGALO ALOAN Simalungun.. Perasaan Penghinaan, Pelecehan atau Penistaan terhadap Suku SImalungun ini sudah dilontarkan kepada Pemerintah Kota Pematangsiantar tetap tidak ditanggapi bahkan dalam kata-kata sambutan yang dilakukan Walikota Hefriansah dalam acara-acara resmi selalu mengatakan bahwa suku di kota pematangsiantar ini bukan hanya Milik Satu Suku yang bisa di tafsirkan orang-orang simalungun pernyataan itulah yang menjawab kenapa Budaya SImalungun di hilangkan dalam perhelatan acara resmi dengan digantikan dengan budaya suku yang lain di kota pematangsiantar ini.


Brosur HUT kota Pem.Siantar Ke-147
Hal yang membuat kemarahan orang-orang suku Simalungun yang  tidak bisa di tahan lagi (Habis Kesabaran),  ketika Hefriansyah nyata-nyata telah bermaksud menghilangkan etnis Simalungun di Pematangsiantar. Buktinya, saat peringatan Hari Jadi ke-147 Kota Pematangsiantar, Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar mengeluarkan brosur dengan desain gambar rumah adat Simalungun yang kecil. dimana rumah adat itu diambil dari rumah adat Simalungun yang sudah terbakar bernama Rumah Utte Jungga Dengan di keliingi oleh suku-suku lain lengkap dengan alat musik dan perangkat pakaian adat, sementara tidak ada terlihat pakaian perangkat suku simalungun dengan tulisan FESTIVAL KOTA PUSAKA semarak Budaya Siantar. Yang bisa diartikan PUSAKA dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “harta benda peninggalan orang yang telah meninggal; warisan” jadi dengan di ikuti dengan gambar brosur yang telah beredar itu dengan keberadaan Rumah adat yang kecil dan sudah terbakar serta tidak adanya orang seperangkat berpakaian adat simalungun, memberi makna bahwa keberadaan orang Simalungun di kota Pematangsiantar sudah dianggap tinggal Cerita Masa lampau atau dianggap tidak ada lagi. Melihat keadaan ini, komunitas adat Simalungun, ihutan bolon (Keturunan Raja Sang Nawaluh Damanik), telah mengingatkan hal itu akan tetapi Pemko Pematangsiantar tidak bersedia mengganti desain tersebut. Bahkan Brosur itu di tampilkan sebagai backdrop di Pentas besar pada Pagelaran Seni pada acara PRSU ( Pekan Raya Sumatera Utara) di Kota Medan.

             

Demonstrasi yang menuntut Hefriansyah walikota Pem,Siantar Di Makzulkan
Mulai saat itu, Orang-orang Suku Simalungun menjadi MARAH, dan menyampaikan aspirasi sampai ke DPRD kota Pematangsiantar meminta agar DPRD KOTA Pematangsiantar agar Memakzulkan Walikota Pematangsiantar Hefriansyah, kegiatan demonstrasi besar-besaran hampir setiap hari terjadi, sehingga kota pematangsiantar yang terkenal sebagai kota paling TOLERANSI di Indonesia menjadi tercoreng dan keadaan ini, membuat Kota pematangsiantar menjadi Mencekam dan tidak kondusif. sampai saat ini, seorang Walikota Hefriansyah tidak pernah Mengklerifikasi dan Meminta Maaf kepada Suku Simalungun atas kejadian-kejadian ini walaupun Keberadaan Suku Simalungun telah terlukai hatinya, telah Di NISTA SUKUNYA, Dianggap tidak ada lagi,.


             Sungguh teragis memang, perlakuan Pemerintah daerah Pematangsiantar terhadap Suku SImalungun di tanahnya sendiri, tidak dihargai, DIHINA, DILECEHKAN, sudah dianggap tidak ada. Saya tidak bisa terbayang jika kejadian yang serupa terjadi di daerah lain, bisa jadi tidak lama lagi Negara yang kita cintai ini akan Bubar. Mudah-mudahan, pihak yang terkait bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik. Jangan ada lagi Penistaan  terhadap suku-suku lainnya apalagi ditanahnya sendiri.


Diatei Tupa

Penulis:
Rizal Sipayung 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar